Posts Tagged ‘Government’


===================
Note: Ini juga sebuah eksperimen jurnalisme multimedia yang saya coba lakukan minggu lalu. Belum sempurna benar karena belum memasukkan elemen suara dan teks untuk bisa dibilang karya multimedia yang lengkap. Video yang ditampilkan merupakan potongan-potongan momen yang saya rekam dengan fitur video recorder pada kamera saku Canon IXUS 65. Video ini dibuat dengan menggunakan program iMovie pada Macbook. Saya sendiri baru pertama kali ini mengenal dan menggunakan program tersebut. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 60 menit untuk membuat video seperti di bawah ini.

===================

Malini Ramani adalah seorang desainer pemberontak yang tidak kenal menyerah. Karya-karya desainnya mencerminkan pendirian dan keyakinan yang kuat – mengikuti kata hati, menerabas kelaziman dan disisipi keceriaan perayaan kehidupan. Tidak heran bila notasi fashion yang dirancangnya selalu bersifat original, meletup-letup penuh semangat dengan rampai warna dan gemerlap.

Continue Reading »


BERITA di Kompas hari ini (2/3) menyebutkan ada enam rusunami (rumah susun hak milik) akan disegel. Penyegelan enam rusunami tersebut akan menyusul penyegelan terhadap rusunami di kawasan Kalibata. Dalam berita itu disebutkan bahwa penyegelan dilakukan terkait dengan masalah IMB rusunami yang bersangkutan belum beres. Ada pertanyaan yang muncul terkait dengan pemberitaan Kompas tersebut. Narasumber utama dalam berita tersebut adalah Kepala Suku Dinas P2B Jaksel Widiyo Dwiyono.

Narasumber tersebut berbicara juga tentang rencana penyegelan enam rusunami di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur. Saya meragukan kredibilitas narasumber tersebut dalam memberikan keterangan. Seperti pertanyaan saya di atas, apakah seorang pejabat di wilayah Jakarta Selatan berwenang untuk berbicara tentang masalah yang ada di wilayah yang berada di luar kewenangannya? Sebagai Kepala Suku Dinas P2B Jakarta Selatan, apakah yang bersangkutan juga punya wewenang untuk berbicara tentang area kerja sejawatnya di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, meskipun narasumber tersebut memang mengutip catatan Kementerian Negara Perumahan Rakyat?

Masalahnya adalah, menurut berita Kompas tersebut, Widiyo Dwiyono menyebutkan bahwa salah satu rusunami yang IMB-nya bermasalah di wilayah Jakarta Utara adalah rusunami di Kelapa Gading, tepatnya di Jalan Pegangsaan. Padahal setahu saya, hanya ada satu rusunami di situ, yaitu Gading Nias Residence. Dan saya tercatat sebagai salah satu pembeli unit di rusunami tersebut!

Namun, terlepas dari masalah kredibilitas narasumber Kompas tersebut, masalah IMB rusunami yang dipersoalkan dalam berita ini membawa saya untuk bertanya tentang kebecusan birokrasi pemerintahan kita. Bukankah rusunami merupakan bagian dari proyek 1000 menara rumah susun yang telah dicanangkan oleh Pemda DKI Jakarta beberapa waktu lalu? Bukankah peluncuran rusunami, khususnya Gading Nias Residence, juga dihadiri oleh beberapa pejabat teras pemerintahan (Jusuf Kalla juga hadir lho!) ? Bagaimana mungkin pejabat-pejabat teras tersebut bisa menghadiri peluncuran rusunami yang bermasalah? Bagaimana bisa saya mendapatkan kucuran kredit dari bank untuk membeli unit rusunami tersebut apabila masih ada masalah IMB yang menggantung? Singkatnya, atas dasar alasan apa sebuah bank bersedia bekerjasama untuk mendanai proyek-proyek yang bermasalah?

Apa maksud berita ini sebenarnya? Apakah sekedar masalah IMB beberapa rusunami yang belum beres? Apakah masalah beberapa pejabat yang belum mendapatkan “jatah”? Atau hanya soal birokrasi pemerintahan kita yang benar-benar brengsek?

Republik ini sungguh-sungguh tidak masuk akal!

Reblog this post [with Zemanta]

ANDA ada di pihak mana ketika Obama menang dalam pemilihan presiden Amerika dua hari kemarin? Di pihak yang melihat kemenangan tersebut sebagai bagian dari kemenangan kecil umat manusia? Atau di pihak yang melihat kemenangan itu hanya sebagai sebuah hiruk-pikuk politik di belahan dunia yang jauh dan tidak penting bagi Anda?

Saya sendiri, awalnya, terbelah di antara dua pihak tersebut. Selama dua hari saya tidak dapat menentukan posisi saya. Haruskah saya ikut dalam pesta pora kemenangan Obama? Ataukah saya sebaiknya ikut masuk dalam barisan manusia yang dengan sinis melihatnya sebagai peristiwa yang sama sekali tidak terkait dengan diri saya dan tidak akan mempengaruhi atau membuat kehidupan saya menjadi lebih baik?

Kemarin saya masih condong pada pilihan kedua. Obama, meskipun pernah menghabiskan sebagian masa kecilnya di Indonesia, tetap bukan siapa-siapa bagi saya. Ikatan Obama dengan Indonesia, saya rasa, terlalu dibesar-besarkan. Dalam banyak hal, Obama dan McCain sama saja bagi saya. Sentimen anti Amerika saya yang tidak adil dan rasis barangkali akan menyamakan mereka, dan orang Amerika mana pun, dengan George Bush – American Born Idiot!

Tapi, pagi ini, entah apa yang memulai, meskipun indeks finansial dunia kembali ambruk (07/11) (membuktikan faktor Obama tidak banyak pengaruhnya – setidaknya sampai hari ini), saya tiba-tiba sudah berada di pihak yang berbeda. Meskipun kurang tidur karena imsonia saya kembali kambuh, pikiran saya rasanya lebih bebas. Saya masih percaya pada kebaikan hati manusia. Saya masih percaya pada harapan. Saya masih percaya bahwa hasrat manusia untuk bebas, -untuk menjalani hidupnya dengan merdeka, untuk mendapatkan keadilan, untuk menikmati kualitas hidup yang lebih baik-, tidak boleh dibunuh – bahkan walau hanya oleh sikap sinis kita.

Saya masih percaya bahwa nasib manusia terkait dengan manusia lain. Itu adalah yang telah ditetapkan sejak manusia masih menjalani kehidupannya dalam pertarungan di padang rumput perburuan purba. Hanya dengan cara mengaitkan diri dengan manusia lain, manusia bisa selamat melewati guillotine seleksi alam yang tak kenal ampun.

Lagipula, bicara tentang politik dan nasib manusia Indonesia, rasanya terlalu tidak tahu diri bila kita mengatakan bahwa masa depan manusia tidak punya kaitan dengan peristiwa-peristiwa yang bergelombang di belahan dunia lain. Siapa yang bisa menyangkal bahwa gelombang demokrasi yang riaknya mulai menggelora di Indonesia sejak awal 90-an dan memuncak pada tahun 1998 merupakan bagian dari gelombang demokratisasi di belahan dunia lain.

Siapa yang bisa menyangkal bahwa perestroika yang dicanangkan seorang komunis Rusia merupakan salah satu program politik penting yang ikut mengubah wajah dunia kita? Begitu juga dengan runtuhnya tembok Berlin dan munculnya tulisan God is Tot di reruntuhan tembok itu yang seakan memaklumatkan kematian tuhan-tuhan kecil manusia – setelah kematian Tuhan dimaklumatkan oleh Niesztche. Martir-martir Lapangan Tiannamen, para paderi dan massa rakyat Burma yang dianiaya kediktatoran junta, rakyat yang terus berjuang mempertahankan haknya atas tanah di tepian Brantas sampai pesisir Danau Toba, mari kita deretkan di sini orang-orang tak bernama yang punya harapan bahwa masa depan bisa dibuat lebih baik lagi, mereka yang masih bisa percaya pada kebaikan hati manusia. Siapa berani bilang bahwa sikap diam kita tidak punya pengaruh apa-apa terhadap derita berkepanjangan manusia-manusia yang tergusur hak hidupnya di setiap sudut bumi? Jadi mengapa harus diam dan sinis ketika ada suara yang membawa harapan (walau sedikit) akan perubahan masa depan manusia?

Pagi ini saya bangun dengan kondisi kurang tidur, tapi sebagai manusia yang percaya bahwa masih ada harapan tersimpan di dalam kotak Pandora. Karena hanya dengan memelihara harapan-harapan itu-lah saya masih punya peluang (baca: harapan) untuk menjadi manusia, bukan budak dari apa pun, termasuk budak dari rasa takut saya akan kebebasan.

Reblog this post [with Zemanta]